Link and Match : Jembatan Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha

Link and Match : Jembatan Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha

Konsep link and match sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Sejak awal abad ke-20, dalam teori belajar ada terminologi yang bersumber dari aliran belajar behavioral yang pada hakekatnya juga merupakan refleksi konsep link and match. Terminologi itu kemudian dikenal dengan learning by doing. Terminologi ini menghendaki agar proses belajar berjalan sambil melakukan sesuatu yang nyata dalam kehidupan. Dengan cara seperti itu orang yang sedang belajar memiliki pengalaman aktual, empirik dan nyata dalam proses belajarnya. Jika sambil belajar kita dapat memperoleh pengalaman nyata dan aktual, pada hakekatnya proses itu juga mencerminkan keadaan link and match. Sebaliknya, jika setelah mempelajari sesuatu kita tidak memperoleh pengalaman apa-apa, maka proses itu tidak layak masuk dalam kawasan link and match. Jika proses belajar tidak mampu memberikan pengalaman yang nyata, empirik dan aktual, maka kita layak untuk berkomentar: HANYA TEORI!

Konsep link and match dilihat dari model perencanaan pendidikan juga bukan merupakan barang yang baru. Harbinson (1973) juga telah “memperkarakan” konsep link and match dalam pendekatan perencanaan pendidikan yang ia teorikan. Menurut salah satu model perencanaan pendidikan yang ia kemukakan dalam teorinya itu, ada salah satu pendekatan perencanaan pendidikan yang pada hakikatnya merupakan pencerminan dari konsep link and match. Pendekatan yang demikian itu ia beri nama dengan man power needs approach.

Dalam pendekatan perencanaan itu dikatakan, bahwa hendaknya pendidikan direncanakan berdasarkan kebutuhan tenaga kerja dalam masyarakat. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali merencanakan jenis pendidikan di tingkat manapun yang tidak terkait dengan kebutuhan tenaga kerja dalam masyarakat. Jika suatu lembaga pendidikan menyelenggarakan suatu program akademik yang tidak berorientasi pada kebututuhan tenaga kerja di masyarakat, maka lembaga tersebut berarti akan mencetak pengangguran. Kalau hal itu terjadi, jelas Perguruan Tinggi itu tidak mampu mencapai tingkat relevansi pendidikan yang tinggi, dan dengan demikian telah masuk dalam kondisi yang misslink and missmatch. Banyak sekarang yang terjadi, lulusan dari bidang biologi dan fisika mentok hanya jadi guru les atau lulusan dari sekolah mesin malah menjadi marketing kartu kredit sebuah bank swasta. Tentu saja, kondisi ini sangatlah ironis bagi negara Indonesia yang saat ini masih aja memperdebatkan masalah unas. Padahal di belahan negara lain, sebut saja Malaysia pada sibuk untuk menerima serbuan pendaftaran siswa atau mahasiswa dari penjuru dunia yang mau sekolah di Malaysia. Tentunya ini dikarenakan adanya pengakuan kualitas pendidikan disana.

Pada hakikatnya konsep link and match dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja. Perguruan Tinggi perlu melakukan kerjasama sinergis dengan dunia kerja profesional agar relevansi pendidikan tinggi dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu tentunya dengan prinsip kerja dimana perguruan tinggi harus mampu memberikan keuntungan juga bagi dunia usaha (model manajemen win-win), jika akan melakukan program link and match. Tanpa ada keuntungan, baik langsung maupun tidak langsung, dunia usaha akan enggan berpartisipasi dalam program link and match meskipun program itu dijanjikan dalam jangka panjang akan menguntungkan banyak pihak.

Melalui kerjasama fungsional  link and match dengan dunia kerja profesional, perguruan tinggi secara konseptual akan memiliki peluang yang cukup besar untuk melahirkan lulusannya menjadi calon-calon tenaga kerja yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Karena di dunia kerja itulah para mahasiswa akan memperoleh pengalaman baru lebih jauh dan aktual dari sekedar pengalaman yang dideskripsikan pada kurikulum suatu perguruan tinggi.

Program yang paling mungkin akan tetapi sangat jarang didengar gaungnya untuk dilakukan dengan model manajemen win-win adalah bidang penelitian, perguruan tinggi kiranya dapat melakukan penelitian bersama dengan dunia usaha, agar program link and match dapat dilaksanakan dengan mudah. Dengan penelitian bersama, manfaat dari penelitian itu akan segera dapat dirasakan oleh dunia usaha khususnya bagian manajemen yang sekarang ini bisa dibilang sebagai pondasi suatu usaha baik dalam bidang pemasaran, keuangan, sumber daya manusia ataupun operasi. Meskipun, sekarang yang terjadi justru penelitian ini dijadikan “proyek tambahan” bagi kalangan terbatas yang terlibat didalamnya (perguruan tinggi dan dunia usaha) tanpa mempertimbangkan nilai tambah yang nantinya didapatkan oleh mahasiswa atau yang lebih parah penelitian hanya menjadi koleksi abadi di perpustakaan dan hanya menghabiskan anggaran saja.

Banyak sekarang beberapa perguruan tinggi berupaya untuk mewujudkan konsep ini dengan cara lain. Antara lain ada yang mulai mencari komposisi dosen yang pas antara para akademisi dan praktisi, banyak bekerja sama dengan dunia usaha untuk proses magang mahasiswa khususnya yang semester akhir, dan yang sekarang mulai banyak bermunculan adalah agenda mengundang dari kalangan dunia usaha yang sukses untuk memberikan “pencerahan” bagi lulusan perguruan tinggi dalam acara wisuda dimana semuanya itu bermakna ganda baik sebagai nilai jualan sebuah perguruan tinggi ataupun memberikan nilai tambah lulusannya agar tidak menambah jumlah pengangguran yang tercatat di BPS dan jika perlu merubah nama dari program studinya menjadi sedikit berbau “bisnis” agar dapat dinilai sebagai perguruan tinggi yang pro dunia usaha.

Demikianlah kebijakan link and match. Jika program itu dapat dilaksanakan, sungguh akan mampu membuat jembatan yang bermanfaat bagi dunia usaha maupun dunia perguruan tinggi. Dunia perguruan tinggi akan memiliki peluang yang besar untuk selalu melakukan update terhadap program akademiknya dengan melakukan kebijakan link and match. Meskipun demikian ternyata program itu tidak mudah dilaksanakan. Program itu memerlukan manajemen dan sistem kerja yang dapat menjanjikan adanya keuntungan bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya.

 

Perguruan tinggi swasta dapat menjadikan konsep ini sebagai dasar dalam hal pengembangan kampusnya, karena dapat dilihat sekarang sudah tidak ada lagi sekat perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan swasta, bahkan dalam hal biaya yang dulu dikatakan negeri lebih murah. Sekarang yang diharapkan oleh calon-calon mahasiswa adalah apakah ketika nantinya masuk ke sebuah perguruan tinggi, dirinya akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan atau tidak. Jika nantinya, kondisinya pada saat sebelum dan sesudah sama saja maka perguruan tinggi tersebut tidak akan menjadi pilihan lagi. Maka dari itulah, sedini mungkin perguruan tinggi haruslah mendekatkan diri kepada dunia usaha melalui kebijakan link and match agar nantinya lulusan akan merupakan output yang “diidamkan” oleh kalangan usaha, sehingga dunia usaha tidak perlu lagi untuk melatih atau membuang waktu.

Semoga, di kedepan hari berita tentang berjubelnya peserta bursa kerja di Indonesia tidak akan pernah lagi mengingat perguruan tinggi akan selalu mencetak lulusan yang “acceptable” oleh dunia usaha sehingga perguruan tinggi tidak dijadikan sasaran tembak orang-orang yang berkomentar bahwa orang berkuliah hanya menghabiskan uang tanpa guna, nikmatilah masa kuliahmu karena setelah ini perguruan tinggi akan menjadi jembatan untuk sukses.(Oleh : Fariz, SE,MM)